Pak, Ada Uangnya Sedikit saja? Saya Lapar..
Aku menikmati suasana sore itu meski kereta yang kutunggu
tak juga datang. Sayup-sayup terdengar suara lirih “pak, mau makan pak saya
lapar”. Aku diam seolah tak mendengar. “Pak saya lapar, saya gak punya uang”.
Suara itu makin jelas. Aku tahu asal suara itu. Seorang bocah tanggung usia
belasan tahun dengan pakaian lusuh dan kumalnya duduk tepat di samping kananku.
Sedikitpun aku tak mau melirik padanya. Aku tahu ia pasti sedang memandangiku
dengan tatapannya wajahnya yang sayu. Berharap iba dan belas kasihku. Aku tetap
diam. “Pak, punya sedikit uang untuk saya makan gak pak?”. Bocah itu tak henti
berharap. Ia pun mengalihkan pandangan pada seorang bapak di sebelahnya. “Wuaah
jangan sama saya, yang lainnya aja deh soalnya pas kebetulan gak punya nih..”.
Kata bapak itu seolah tidak ingin diganggu. Hatiku mulai terusik. Bukan kesal
dan amarah. Ingin menangis saja rasanya tahu ada seorang anak yang tidak bisa
makan tapi aku seperti tak peduli. “Pak, saya lapar seharian belum makan karena
gak punya uang”. “Minta sedikit uangnya pak”. Kuberanikan wajahku memandangnya
saat ia berucap. Dari matanya aku tahu ia benar-benar lapar.
Sekelumit perjalanan hidupku seolah kutonton kembali saat
tatapanku jatuh dimatanya yang tulus. Aku pernah kelaparan, pernah sendiri,
pernah tidak punya uang. Tapi tak pernah hidupku semenderita anak itu. Meski
lapar, sendiri, dan tak punya uang tapi aku masih bisa makan. Hidupku jauh
lebih baik. “Kamu lapar dan belum makan? Mau makan?”. Tanyaku sambil berusaha
menahan tangis melihat anak itu. Ia hanya mengangguk mengiyakan. “Kalau begitu
kamu makan, biar saya yang bayar. Kamu mau?”. Tanyaku lagi. Ia mengangguk lagi
sambil menundukkan kepalanya. “Okay, sekarang kita cari warung makan. Pilih
yang kamu suka dan makan yang banyak.” Kataku sambil mengajaknya berdiri.
Kemudian kami berjalan menyeruak kerumunan orang yang berteduh di peron menuju
warung makan dekat loket tiket Kereta Api. Di warung makan hanya tersisa telur
dadar, ikan goreng, ayam goreng, tahu semur, sayur sop dan sedikit sambal. “Pake
apa nih?” tanya ibu warung nasi. “Pake ini aja bu sama kuah sama sambalnya
juga?” kata si bocah sambil menunjuk ikan goreng. Setelah siap diraihnya nasi
ikan itu. Ia makan dengan lahap. Seperti orang yang belum makan dari pagi.
“Minum es teh manis ya?”. kataku sambil mencoba memesan minum untuknya. “Jangan
pak, gak usah.. ini saja sudah cukup”. Sahutnya sambil memegang segelas air
putih. Aku tak mau berlama-lama di warung nasi itu.
Melihatnya seperti melihat diriku sewaktu remaja. Segera
kubayar makan malamnya. Tidak mahal buatku, cuma enam ribu rupiah. Mahal untuk
bocah itu. Dia harus merendahkan dirinya untuk sekedar mengiba demi uang receh
untuk bisa makan. Bocah itu memberi pelajaran berharga padaku. Ia hanya minta
aku mendengarnya. Ia tak minta hidupku. Ia butuh didengar. Jangan memberinya
uang receh tapi beri yang kau punya dari isi hatimu maka kau akan tahu harus
peduli dengan cara apa.
Tapi gan perlu di waspadai juga soalnya sekarang banyak pengemis gadungan. Orang mampu nayamar jadi pengemis sebagai ladang penghasilannya. Dan disitulah kita ragu untuk memberikan uang
ReplyDeleteiya kalau ini beda, tapi kalau modus itu yang diwaspadai, kelihatan kok kalau kita jeli pasti bisa ketawan mana yang bener mana yang modus.
DeleteTerima kasih gan sudah di ingatkan.
Menurut saya kalau mau nyumbang mending diyayasan
ReplyDeleteSip gan. Itu juga bisa.
Deletememang kita harus berbagi ya kepada orang yang membutuhkan. Biar yang maha kuasa yang membalas amal baik kita
ReplyDeleteIya. Lebih hevat lagi memberi dari kekurangan langka itu gan.
DeleteMemberi tidak membuat miskin
ReplyDeleteSuper. Mantap gan tapi jaman sekarang mkin susah orang memberi, Ya begitulah hati orang tidak ada yang tahu. Entah itu keluarga,saudara ataupun teman.
DeleteSaya sepekat dengan memberinya makan lansung, dari pada memberinya uang tunai karena belum tentu dia yang menikmatinya.
ReplyDeletemantap gan, memang begitu lebih jelas.
Delete